media informasi yang menyajikan kegiatan pendampingan Program Keluarga Harapan di Kabupaten Madiun, meliputi Kecamatan Dolopo,Jiwan,Balerejo,Wungu,Mejayan, Pilangkenceng,Saradan,Wonoasri,Kare, Gemarang, Dagangan, Sawahan, Madiun, Geger dan Kebonsari. Serta peran semua pihak termasuk pemerintah daerah dalam mendukung suksesnya PKH di Kabupeten Madiun.
Tamu Kita
Jumat, 23 Desember 2011
Kamis, 27 Oktober 2011
Kamis, 29 September 2011
Orang Miskin Dilarang Pintar
Joke yang dilontarkan pengamat sosial bahwa orang miskin dilarang keras untuk pandai atau sakit, karena untuk hal itu dibutuhkan biaya yang cukup mahal, nampaknya bukan sekedar lelucon belaka. Pernyataan seperti ini tentunya mengundang silang pendapat dari berbagai pihak, khususnya antara pemerhati masalah sosial dengan kalangan pemerintah. Bagaimana realitas sosial yang ada dalam masyarakat kita ? Potret utuh masyarakat kita yang berada pada strata sosial paling bawah, menggambarkan bahwa kehidupan sosial mereka benar-benar berada pada posisi kemiskinan absolut. Miskin harta, miskin ilmu dan juga miskin pengetahuan. Jangankan saving, untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari saja sudah cukup sulit. Aktivitas keseharian mereka terjebak pada sebuah rutinitas kerja yang cenderung mengandalkan kemampuan otot daripada akal sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar keluarganya. Pola management ekonomi mereka dari tangan ke mulut, artinya seberapapun besarnya pendapatan hari ini akan habis untuk kebutuhan konsumsi hari ini. Dan untuk kebutuhan esok hari, akan dicari esok hari. Demikian seterusnya.
Mengapa pandai dan sakit menjadi sebuah komoditas yang sangat mahal harganya dan sulit dijangkau oleh sebagian besar golongan masyarakat miskin ? Bukankah program anti kemiskinan dengan semua varian nya sudah cukup banyak yang digelontorkan kepada masyarakat miskin ? Berbagai program pemerintah yang terintegrasi dalam Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (gerdutaskin) dalam prakteknya hanya menyelesaikan persoalan kemiskinan pada sisi permukaannya saja ( temporary ) , sementara akar permasalahan serta dampak dari kemiskinan itu sendiri belum sepenuhnya tersentuh. Terlalu banyak persoalan non teknis yang belum sepenuhnya dipahami oleh para pembuat kebijakan, terutama terkait dengan aspek sosiologis masyarakat miskin.
Pertama, program pemerintah yang terkait langsung dengan masalah pendidikan gratis atau yang sering disebut dengan Program Wajib Belajar (wajar), jangka waktunya hanya sembilan tahun (Pendidikan Dasar) atau setara dengan SLTP. Sementara untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya (SLTA sederajat) harus ditempuh dengan biaya sendiri. Artinya bagi mereka yang kurang berkemampuan dari aspek finansial sekalipun, maka semua biaya pendidikan sepenuhnya menjadi beban tangung jawab pribadi, karena pemerintah tidak lagi mensubsidi biaya pendidikan. Kondisi semacam inilah yang sering kali memaksa para orang tua dari golongan masyarakat miskin tidak lagi mampu membiayai sekolah anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Karena fakta sosialnya adalah bahwa pemenuhan kebutuhan dasar bagi keluarga menjadi prioritas utamanya. Sehingga pendidikan dipandang bukanlah sebuah kebutuhan yang prioritas. Selesai tamat sekolah SMP tidak lagi melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Waktu dan tenaga mereka akan lebih bermanfaat digunakan untuk bekerja membantu ekonomi keluarga di ladang dan sawah yang mereka miliki atau menggembala ternak.
Kendala lainnya adalah, sekalipun si anak mempunyai cukup kemampuan dengan nilai kelulusan yang cukup memadai untuk diterima di sekolah unggulan, untuk bisa melanjutkan ke Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI) misalnya adalah sesuatu yang sulit untuk di lakukan. Sebabnya adalah, bukan hanya karena jumlah penerimaan siswanya terbatas, akan tetapi setiap anak didik yang diterima akan dipungut biaya yang jumlahnya lumayan besar bagi kalangan tertentu. Dan hal ini sebuah kemustahilan dapat dipenuhi bagi kalangan warga miskin. Dan karenanya mereka akan tetap memilih mendafkan di sekolah non unggulan. Dalam hal ini begitu kompleksnya persoalan warga miskin terkait dengan persoalan pendidikan yang konon gratis.
Sebagai dampak langsungnya dalam jangka panjang adalah, pada saat anak-anak mereka memasuki usia kerja dan harus berkompetisi di sektor formal. Apa yang bisa dilakukan hanya dengan bekal ijasah formal setingkat SLTP ? Sementara peluang kerja yang tersedia sebagian besar paling rendah untuk tamatan SLTA, itupun kebanyakan sebagai kuli kasar atau buruh pabrik. Pada sisi lain, dengan bekal pengetahuan yang hanya sebatas SLTP, dengan tanpa adanya tambahan life skill, peluang kerja apa yang dapat diciptakan ? Ibarat mengikuti sebuah kompetisi, mereka sudah kalah sebelum bertanding. Keterpurukan mereka di sektor formal, serta ketidak berdayaan mereka menciptakan peluang kerja, tentunya akanmemaksa mereka kembali ke habitat aslinya meneruskan atau lebih tepatnya mewarisi pekerjaan orang tua mereka sebagai buruh tani. Kesemuanya ini pada hakekatnya akan memperpanjang mata rantai kemiskinan.
Kedua, bagi kebanyakan masyarakat miskin, sakit tidak lagi dipandang sekedar sebuah cobaan atau ujian hidup, lebih dari itu merupakan musibah. Untuk kembali menjadi sehat diperlukan biaya yang tidak kecil. Bukan saja karena obat patent (diluat obat-obatan yang masuk dalam daftar obat Generik ) harganya relatif mahal dan cenderung tidak terjangkau kantong mereka, akan tetapi apabila diperlukan tindakan medis khususnya di Rumah Sakit juga dibutuhkan biaya yang cukup besar. Program Jamkesmas yang dibiayai dari dana APBN dan juga Jamkesda yang diambilkan dari dana pemerintah propinsi, yang bertujuan memberikan fasilitas pengobatan dan biaya rawat inap secara gratis bagi warga miskin, nampaknya dalam pelaksanaannya juga banyak mengalami kendala teknis yang sulit di dipenuhi oleh masyarakat miskin. Persyaratan administratif sering kali menjadi momok yang bagi sebagian masyarakat miskin yang tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan menjadi frustasi. Kebanyakan dari mereka disamping tidak memahami tentang mekanisme dan proses tahapan prosedur standart administratif, juga karena pihak-pihak yang berkompeten tidak memberi pengarahan, tuntunan apa yang seharusnya dan tidak seharusnya. Sehingga semua persyaratan administratif tersebut dipandang sebagai suatu hambatan, sementara disisi lain barang kali pasien memerlukan penanganan segera. Sebagai jalan pintas, pada umumnya mereka tidak lagi menggunakan fasilitas pengobatan “gratis” yang memang disediakan oleh pemerintah untuk mereka khususnya warga masyarakat yang tergolong sangat miskin (RTSM). Sekalipun pada akhirnya harus menempuh berbagai cara untuk mendapatkan biaya baik pengobatan maupun perawatan. Untuk mendapatkan uang dalam waktu singkat di daerah pedesaan bukanlah pekerjaan mudah, apalagi kebanyakan warga masyarakat miskin tidak memiliki aset yang dapat dijadikan sebagai jaminan. Langkah alternatif terakhir yang paling mungkin adalah meminjam dari rentenir yang saat ini banyak berkeliaran di daerah pedesaan dengan kedok koperasi simpan pinjam. Kalau ini terjadi maka dapat dipastikan akan semakin menambah daftar panjang persoalan kemiskinan mereka. Salah satu faktornya adalah karena mereka dengan sangat terpaksa harus dapat menyisihkan sebagian penghasilan yang sudah pas-pasan untuk kepentingan mencicil hutang mereka kepada rentenir.
Sedikit berbeda nasib warga masyarakat sangat miskin peserta Program Keluarga Harapan (PKH). Adanya tenaga pendamping tidak sekedar berfungsi membantu pemerintah dalam mewujudkan tujuan program yakni memutus mata rantai kemiskinan dengan cara memastikan bantuan program tepat jumlah dan tepat sasaran serta tepat penggunaan. Lebih dari itu juga mempunyai fungsi pemberdayaan. Yakni dengan pola pendampingan tugas dan fungsi pendamping mengupayakan bagaimana mayarakat miskin peserta program PKH pada akhir pelaksanaan program bisa mandiri baik secara ekonomis maupun sosial.
Kemandirian pada sektor ekonomi dilakukan dengan cara di bimbing serta dibina untuk mengembangkan sektor ekonomi produktif yang disesuaikan dengan potensi diri serta potensi lokal. Yang kesemuanya tersebut diharapakan mampu menambah pendapatan keluarga. Bentuk konkritnya bisa berupa usaha dagang atau peternakan secara berkelompok, semua ini bertujuan bukan sekedar meminimalkan resiko kegagalan. Tetapi dengan kelompok usaha bersama ini (KUBE) diharapkan dapat menjadi wadah atau media pembelajaran bersama. Pada tahapan awal ini dengan pola tangung renteng setiap orang mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama, sehingga bisa saling mengisi kekurangan masing-masing. Fase berikutnya, bagi mereka yang sudah mampu mandiri diperkenankan keluar dari kelompok untuk untuk mengembangkan usaha mereka sendiri.
Teknis yang digunakan untuk dapat mewujudkan kemandirian sosial yakni dengan cara memberi sosialisasi secara berkelanjutan pada masing-masing kelompok secara dialogis. Dengan cara ini diharapkan setiap persoalan sosial yang mungkin sedang atau akan dihadapi dapat dijadikan materi diskusi sekaligus dicarikan solusinya. Sehingga setiap anggota kelompok akan mendapatkan pemahaman dan pengetahuan yang seragam akan berbagai persoalan yang muncul dalam diskusi. Untuk beberapa kasus yang sedang terjadi, maka akan dilakukan pendampingan secara langsung dan bukan sekedar advokasi. Dapat diambil contoh misalnya terkait dengan mekanisme proses persyaratan administrasi pemanfaatan fasilitas kesehatan baik di Puskesmas maupun di Rumah Sakit. Pendampingan dilakukan mulai awal hingga akhir proses. Dalam jangka panjang teknik semacam ini diharapkan dapat diteruskan kepada anggota yang lain ketika mengalami persoalan yang sama.
Jadi inilah sedikit perbedaan antara warga masyarakat miskin yang mendapat program dengan bonus pendampingan dengan mereka yang mendapat bantuan yang bersifat temporary dengan tanpa pendampingan. Bravo pendamping PKH.
Narkoba : Bisa Sebabkan Lumpuh dan Mati Rasa
Pengaruh Kemiskinan Terhadap Pendidikan
Mandiri Melalui Pendidikan
Psikolog senior, Sartono Mukadis pernah memberikan ilustrasi tentang kondisi mental generasi muda kaitannya dengan dunia kerja. “Tak perlu repot- repot melakukan tes psikologi. Sodorkan saja sebuah pacul dan sempritan, lalu minta mereka untuk memilih salah satu diantaranya sebagai bekal mencari nafkah. Saya yakin mereka akan memilih sempritan.”
Memilih pacul berarti siap- siap membanting tulang di bawah terik matahari. Hasilnya baru dipetik dalam hitungan bulan dan tahun, itupun kalau tidak ada hama dan harga panen anjlok. Memilih sempritan, berarti tidak perlu membanting tulang. Cukup dengan menggerakkan tangan diantara kepadatan lalu lintas, hasilnya sudah bisa dipetik.
Sekali lagi itulah gambaran generasi muda kita sekarang dan mudah- mudahan tidak demikian di masa mendatang. Maka, banyak hal yang perlu dibenahi untuk membuang jauh paradigma seperti itu, dan salah satunya melalui sistem pendidikan.
Diakui atau tidak, sistem pendidikan kita sekarang berpola tidak applicable, seakan- akan terjebak di menara gading, dan tentu saja sangat kurang memiliki relevansi dengan dunia nyata. Kebnyakan kita masih memandang pendidikan hanya ditekankan untuk mengejar nilai Ujian Nasional dan berhasil menggaet ijazah. Seolah dengan nilai Ujian Nasional dan ijazah itu kehidupan akan sesuai dengan yang dicita- citakan. Padahal dunia kerja yang nyata tidaklah seperti yang diharapkan.
Pendidikan kemandirian, itulah kata kunci yang diperlukan untuk menanggulangi fenomena ini, dan salah satunya dengan pendidikan kewirausahaan. Ya, bukankah pendidikan adalah proses memaknai pengalaman. Maka semestinya pengalaman anak sehari- hari, seperti ketika membantu orang tua jualan, melaut, beternak dan sebagainya bisa dibawa ke ruang kelas dan didiskusikan dan dirujukkan pada buku- buku tertentu. Sehingga anak bisa menjadi pakar di bidang yang ia geluti sehari- hari di lingkungannya serta mampu menciptakan generasi yang bermental die hard (pantang menyerah) dan “bermuka tebal”. Karena dua modal itu adalah kunci sukses untuk memulai usaha menuju kemandirian. Pendidikan jangan sampai memunculkan generasi priyayi yang pemalu, mudah tersinggung dan selalu ingin dijunjung atau dihormati.
Pendidikan tak pernah berproses dalam ruang vakum. Pendidikan tak hanya terjadi dalam ruang- ruang kelas yang sempit. Pendidikan pun berlangsung di tengah kancah kehidupan masyarakat yang kompleks. Tanpa bisa dielakkan, masyarakat dengan segala perangainya dapat diimajinasikan sebagai sebuah “ruang kelas” raksasa. Inilah ruang kelas dengan sudut pandang luas tak bertepi. Dari sini pula dapat dimengerti pada akhirnya, mengapa pembaharuan masyarakat mencetuskan pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap pendidikan.
Sekali lagi potensi kemandirian dan kewirausahaan harus ditumbuhkan dan digalakkan di lembaga- lembaga pendidikan formal maupun informal. Era sekarang adalah era menuju “Accelerated Learning for 2030 years”, dimana titik yang akan dituju yaitu mengantarkan anak bangsa kita mengembangkan ketrampilan yang tepat dan memandang bahwa kekayaan bangsa ini berada pada hasil kualitas otaknya dalam bekerja. Dan belajar adalah merupakan petualangan hidup. Artinya, belajar tanpa batas usia dan terus berpikir kreatif, inovatif, enerjik, produktif, berwatak kerja keras, menghargai waktu dan pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan hidup dan menemukan solusi secara mandiri.
Pendidikan kita perlu disinergikan antara teori dengan aktualisasi di dunia kerja. Agar Sistem Pendidikan Nasional melahirkan tenaga kerja yang memiliki daya saing, memiliki jiwa kemandirian, inovatif dan kreatif di dunia internasional. Karena, dengan sistem pendidikan yang baik dan benar, mampu mengubah sebuah bangsa menjadi maju jaya. Bahkan dengan pendidikan mampu mengubah status bangsa menjadi nomor satu yang ujung- ujungnya dihormati di mata dunia. Di beberapa negara seperti Cina, Jepang, malaysia dan negara lainnya dihormati karena kemajuan di sektor pendidikan. Dengan pendidikan pula berbagai negara di dunia ini bisa keluar dari krisis ekonomi secara cepat, begitu juga sebaliknya, tanpa sistem pendidikan yang tepat guna sangat sulit bangsa ini keluar dari krisis yang berkepanjangan.
Lembaga pendidikan haruslah mampu menelurkan anak- anak didik yang mempunyai karakter kemandirian. Dengan karakter kemandirian ini akan melahirkan sifat progresif, visioner, willpower (kemauan keras), toil (kerja keras) dan produktif. Karena itu “pendidikan karakter mandiri” perlu dibangun di negeri ini melalui sistem pendidikan secara serius agar para anak didik mempunyai orientasi bertindak dalam menata kehidupannya.
Selasa, 02 Agustus 2011
Pendataan Program Perlindungan Sosial 2011
Apa Saja Kegiatan Di OmahPinter???
Surat RTSM : Merasa Terbantu Berkat PKH
Senin, 01 Agustus 2011
Kenapa Anak Remaja Saya Nakal???
Usia remaja merupakan usia seseorang mulai mencari identitas. Wajar, terjadi banyak perubahan, terlebih tingkah laku. Hal itu kadang dapat menimbulkan masalah dengan orang tua. Sebab, keinginan atau pendapat anak terkadang tidak sesuai dengan keinginan orang tua. Dari situlah kemudian muncul konflik yang mengakibatkan pertengkaran anak dengan orang tua. Lebih – lebih, orang tua sering selalu merasa benar, tanpa mau mendengar pendapat anak. Karena itulah, seharusnya orang tua bisa lebih memahami perubahan pada anak. Orang tua cukup mendengarkan pendapat anak. Ketika dirasa tidak sesuai, barulah anak diarahkan dan diberi solusi terbaik. Jangan hanya melarang. Begitu juga si anak. Ketika suasana sudah reda, anak bisa mulai berani mengungkapkan pendapatnya kepada orang tua. Dengan begitu, hubungan antara anak dan orang tua akan kembali baik.
Kenakalan remaja sudah menjadi isu sosial yang sangat meresahkan masyarakat. Berbagai kasus kenakalan remaja seperti tawuran pelajar, keterlibatan remaja dalam narkoba, minum-minuman keras, penodongan, penjabretan, dan bahkan tidak luput munculnya berbagai kelompok/gang yang melibatkan remaja putri (gang hero).
Kenakalan remaja tidak hanya terjadi dikota-kota besar saja tetapi sudah sampai di desa-desa. Remaja di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Makasar, dan beberapa kota lainnya cenderung bertindak semaunya, dan tidak mau diatur serta melakukan tindakan yang melanggar norma-norma sosial. Dan anehnya bagi remaja yang tindakannya melanggar aturan justru sebagai suatu kebanggaan tersendiri diantara komunitasnya. Penilaian yang keliru ini diterima sebagai sesuatu yang positip dikalangan remaja pada umumnya.
Kebanyakan mereka berasal dari lingkungan keluarga yang kurang harmonis, dan kasih sayang dari orang tuanya karena ke dua orang tuanya sibuk bekerja di luar, dan atau dari keluarga yang berantakan/bercerai. Dan bahkan dari latar belakang orang tua yang menjadi TKI, sehingga mereka (remaja) dalam pengasuhan bapaknya atau ikut neneknya. Biasanya untuk menyalurkan kemampuannya agar mendapat pengakuan dan perhatian dari orang lain, seringkali remaja salah menterjemahkan dalam bentuk tindakan yang negatip seperti melakukan pencurian, minum-minuman keras, merokok, ngopas dengan teman-temannya.
Kenakalan remaja sebagai akibat dari kegagalan system pengontrol diri, yaitu gagal dalam mengendalikan emosi primintif mereka, yang kemudian disalurkan dalam perbuatan jahat. Kenakalan remaja bukan meupakan warisan sejak lahir, tetapi dibentuk karena kondisional keluarga maupun lingkungan sosial. Perilaku criminal orang tua misalnya, dapat mempengaruhi pola perilaku kenakalan remaja karena kebiasaan yang seringkali dilakukan orang tua dapat membentuk karakteristik perilaku anaknya. Kualitas rumah tangga atau kehidupan keluarga jelas memainkan peranan paling besar dalam membentuk kepibadian anak. Rumah tangga yang berantakan disebabkan oleh kematian ayah atau ibu, perceraian diantara bapak dengan ibu, hidup terpisah, poligami, ayah mempunyai simpanan istri lain, keluarga yang diliputi konflik keras, semua itu merupakan sumber untuk memunculkan kenakalan remaja.
Kondisi keluaga yang demikian itu, menyebabkan anak kurang perhatian, kurang kasih sayang, kebutuhan fisik dan psikis menjadi tidak terpenuhi, keinginan anak tidak bisa tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapat kompensasi, akibatnya anak menjadi bingung, risau, sedih, malu, sering diliputi rasa dendam, benci, kacau dan liar. Dan dikemudian hari mereka akan mengembangkan reaksi kompensatoris dalam bentuk dendam dan sikap bemusuhan terhadap dunia luar. Anak-anak tersebut akan menghilang dari rumah, lebih suka bergelandangan dan mencari kesenangan hidup yang imajinair di tempat-tempat lain. Dia mulai berbohong, membolos sekolah bahkan keluar dari sekolah, kebut – kebutan di jalan, mencuri untuk menarik perhatian dan mengganggu orang tuanya, atau ia mulai mengembangkan reaksi kompensatoris negatip untuk mendapatkan keenakan dan kepuasan hidup dengan melakukan perbuatan criminal..
Banyak kasus kenakalan remaja disebabkan karena: “kekecewaan hebat karena merasa tidak diterima oleh lingkungannya, mengalami frustrasi karena tidak mampu mendapatkan obyek yang diinginkan, dan diliputi oleh perasaan tidak aman”. Dalam keadaan ini anak mulai menjadi agresif, destruktif, dan tidak terkontrol perbuatannya. Mereka berusaha menghibur diri dengan jalan berkeliaran kemana-mana, dan lama kelamaan anak mulai menjadi binal liar tidak terkendali, sering dikuasai keinginan yang aneh-aneh.
Kenakalan remaja merupakan suatu bentuk pelampiasan terhadap kondisional, yang dimulai dari lingkungan keluarga yang kurang harmonis, dan pada akhirnya anak (remaja) mencari kompensasi dalam bentuk perilaku yang menyimpang dalam lingkungan sosial. Sebenarnya kaum remaja memiliki energi emosional yang tinggi, dan bila dapat tersalurkan secara positip dapat membantu kondisi psikis/kejiwaan anak yang merasa kurang nyaman dalam lingkungan keluarganya
Kenakalan remaja disebut pula sebagai anak cacat sosial, mereka menderita cacat mental yang disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dan disebut “kenakalan” atau kenakalan remaja adalah kelainan tingkah laku / tindakan remaja yang bersifat anti sosial, melanggar norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Kenakalan remaja dapat digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu : (1) kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum; (2) kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan orang dewasa.
Sedangkan menurut bentuknya, kenakalan remaja dapat dibedakan dalam tiga tingkatan ; (1) kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit (2) kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai motor/mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin (3) kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan dll. Pada mulanya kenakalan remaja bersifat sederhana, seperti berbohong, keluar rumah tidak pamit, bolos sekolah, begadang larut malam, dan lain lain. Bentuk kenakalan remaja ini seringkali dianggap sesuatu yang wajar, dan bahkan menjadi sesuatu atribut yang membanggakan dalam pergaulan komunitasnya. Bentuk kenakalan remaja seperti ini bila seringkali dilakukan tanpa adanya pengawasan dan perhatian dari orang tua, tidak menutup kemungkinan bentuk kenakalan remaja akan meningkat lebih tinggi, seperti berkelahi, mencuri, menjambret, pergaulan seks bebas, dan lain-lain. Bentuk kenakalan ini sudah mengarah pada perbuatan criminal yang melanggar terhadap tatanan hukum yang berlaku.
Kenakalan remaja yang saat ini marak terjadi adalah perkelahian baik pekelahian antar sekolah maupun pekelahihan antar kelompok. Biasanya anak remaja yang ikut-ikutan acapkali dilakukan secara tidak sadar dan mengarah pada perbuatan criminal. Perkelahian dilakukan sebagai suatu bentuk untuk mendapatkan pengakuan lebih khususnya untuk mendapatkan pengakuan lebih terhadap egonya yang merasa tersisih atau terlupakan dan tidak mendapatkan perhatian yang pantas dari orang tua sendiri maupun dari masyarakat yang luas. Perilaku mereka itu didorong oleh kompensasi pembalasan terhadap perasaan yang inferior, untuk kemudian ditebus dengan bentuk tingkah laku jagoan guna mendapatkan pengakuan lebih terhadap “aku”nya. Karena kenakalan remaja sebagai suatu gangguan kondisi psikis, dan fisik yang dialami oleh remaja. Maka dari itu, mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya. Memberikan lingkungan yang baik sejak dini, disertai pemahaman akan perkembangan anak-anak dengan baik, akan banyak membantu mengurangi kenakalan remaja.
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja
Faktor-faktor terjadinya kenakalan remaja disebabkan oleh berbagai kondisi keluarga dan lingkungan sosial:
1. Ketidakberfungsian sosial (keluarga)
Istilah keberfungsian sosial mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh individu akan kolektivitas seperti keluarga dalam bertingkah laku agar dapat melaksanakan tugas-tugas kehidupannya serta dapat memenuhi kebutuhannya. Juga dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan pokok bagi penampilan beberapa peranan sosial tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap individu sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam masyarakat. Penampilan dianggap efektif diantarannya jika suatu keluarga mampu melaksanakan tugas-tugasnya, keberfungsian sosial adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas dan peranannya selama berinteraksi dalam situasi sosial tertentu berupa adanya rintangan dan hambatan dalam mewujudkan nilai dirinya mencapai kebutuhan hidupnya.
Keberfungsian sosial keluarga mengandung pengertian pertukaran dan kesinambungan, serta adaptasi resprokal/timbal balik antara keluarga dengan anggotanya, dengan lingkungannya, dan dengan tetangganya dll. Kemampuan berfungsi sosial secara positif dan adaptif bagi sebuah keluarga salah satunya jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya terutama dalam sosialisasi terhadap anggota keluarganya.
Kondisi keluarga yang berantakan merupakan cerminan adanya ketidakharmonisan antar individu (suami – istri, atau orang tua) dalam rumah tangga. Hubungan suami istri yang tidak sejalan seirama yakni ditandai dengan pertengkaran, percekcokkan maupun konfliks terus menerus, sehingga menyebabkan ketidakbahagiaan perkawinan. Tidak terselesaikan masalah ini, akan berdampak buruk, seperti perceraian suami istri.
Selama terjadi pertengkaran, anak-anak akan melihat, mengamati, dan memahami tidak adanya kedamaian, ketentraman, kerukunan hubungan antara kedua orang tua mereka. Kondisi ini membuat anak tidak merasakan perhatian, kehangatan kasih sayang, ketentraman, maupun kenyamanan dalam lingkungan keluarganya. Akibatnya mereka melarikan diri untuk mencari kasih sayang dan perhatian dari pihak lain, dengan cara melakukan kenakalan-kenakalan di luar rumah.
2. Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua.
Kebutuhan hidup seorang anak tidak hanya bersifat materi saja, tetapi lebih dari itu, ia juga memerlukan kebutuhan psikologis untuk pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya. Dalam memasuki zaman industrialisasi ini, ditandai dengan banyaknya keluarga modern yang suami istri bekerja di luar rumah tanpa kenal lelah demi untuk mengejar kehidupan materi yang berkecukupan agar ekonomi keluarga tidak berkekurangan. Makin lama ada kecenderungan tugas dan tanggung jawab sebagai orang tua dalam memelihara, mendidik, dan membibing anak diserahkan kepada pembantu atau baby sister ataupun pada nenek - kakeknya. Pada hal belum tentu mereka mampu mendidik dengan baik dan penuh kasih sayang.
3. Status sosial-ekonomi orang tua rendah.
Kehidupan sosial-ekonomi yang mapan merupakan salah satu penunjang yang membentuk kebahagiaan hidup keluarga. Dengan ekonomi yang mapan, berarti semua kebutuhan keluarga dapat terpenuhi dengan baik, termasuk keperluan pendidikan, kesehatan, rekreasi anak-anak.
Namun kehidupan ekonomi yang terbatas atau kurang, menyebabkan orang tua tidak mampu memberikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan makanan yang bergizi, kesehatan, pendidikan, dan sarana penunjangnya, dan bahkan orang tuapun kurang optimal dalam memberikan perhatian kasih sayang pada anak. Hal ini dapat terjadi karena seluruh waktu dan perhatiannya, cenderung tercurah untuk bekerja agar dapat meningkatkan taraf hidup keluarganya.
4. Penerapan disiplin keluarga yang tidak tepat.
Sebagian besar orang tua beranggapan bahwa penerapan disiplin terhadap anak-anak berarti harus dilakukan secara tegas, keras, tidak kenal kompromi serta tidak mengenal belas kasihan kepada anak. Disini, orang tua berperan secara sentral dalam menentukan criteria kedisiplinan yang longgar ataupun ketat sesuai dengan karakteristik anak.
KONSULTASI GRATIS DISINI, HUBUNGI : pkhmadiun@gmail.com