Kamis, 29 September 2011

Orang Miskin Dilarang Pintar

Joke yang dilontarkan pengamat sosial bahwa orang miskin dilarang keras untuk pandai atau sakit, karena untuk hal itu dibutuhkan biaya yang cukup mahal, nampaknya bukan sekedar lelucon belaka. Pernyataan seperti ini tentunya mengundang silang pendapat dari berbagai pihak, khususnya antara pemerhati masalah sosial dengan kalangan pemerintah. Bagaimana realitas sosial yang ada dalam masyarakat kita ? Potret utuh masyarakat kita yang berada pada strata sosial paling bawah, menggambarkan bahwa kehidupan sosial mereka benar-benar berada pada posisi kemiskinan absolut. Miskin harta, miskin ilmu dan juga miskin pengetahuan. Jangankan saving, untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari saja sudah cukup sulit. Aktivitas keseharian mereka terjebak pada sebuah rutinitas kerja yang cenderung mengandalkan kemampuan otot daripada akal sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar keluarganya. Pola management ekonomi mereka dari tangan ke mulut, artinya seberapapun besarnya pendapatan hari ini akan habis untuk kebutuhan konsumsi hari ini. Dan untuk kebutuhan esok hari, akan dicari esok hari. Demikian seterusnya.

Mengapa pandai dan sakit menjadi sebuah komoditas yang sangat mahal harganya dan sulit dijangkau oleh sebagian besar golongan masyarakat miskin ? Bukankah program anti kemiskinan dengan semua varian nya sudah cukup banyak yang digelontorkan kepada masyarakat miskin ? Berbagai program pemerintah yang terintegrasi dalam Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (gerdutaskin) dalam prakteknya hanya menyelesaikan persoalan kemiskinan pada sisi permukaannya saja ( temporary ) , sementara akar permasalahan serta dampak dari kemiskinan itu sendiri belum sepenuhnya tersentuh. Terlalu banyak persoalan non teknis yang belum sepenuhnya dipahami oleh para pembuat kebijakan, terutama terkait dengan aspek sosiologis masyarakat miskin.

Pertama, program pemerintah yang terkait langsung dengan masalah pendidikan gratis atau yang sering disebut dengan Program Wajib Belajar (wajar), jangka waktunya hanya sembilan tahun (Pendidikan Dasar) atau setara dengan SLTP. Sementara untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya (SLTA sederajat) harus ditempuh dengan biaya sendiri. Artinya bagi mereka yang kurang berkemampuan dari aspek finansial sekalipun, maka semua biaya pendidikan sepenuhnya menjadi beban tangung jawab pribadi, karena pemerintah tidak lagi mensubsidi biaya pendidikan. Kondisi semacam inilah yang sering kali memaksa para orang tua dari golongan masyarakat miskin tidak lagi mampu membiayai sekolah anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Karena fakta sosialnya adalah bahwa pemenuhan kebutuhan dasar bagi keluarga menjadi prioritas utamanya. Sehingga pendidikan dipandang bukanlah sebuah kebutuhan yang prioritas. Selesai tamat sekolah SMP tidak lagi melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Waktu dan tenaga mereka akan lebih bermanfaat digunakan untuk bekerja membantu ekonomi keluarga di ladang dan sawah yang mereka miliki atau menggembala ternak.

Kendala lainnya adalah, sekalipun si anak mempunyai cukup kemampuan dengan nilai kelulusan yang cukup memadai untuk diterima di sekolah unggulan, untuk bisa melanjutkan ke Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI) misalnya adalah sesuatu yang sulit untuk di lakukan. Sebabnya adalah, bukan hanya karena jumlah penerimaan siswanya terbatas, akan tetapi setiap anak didik yang diterima akan dipungut biaya yang jumlahnya lumayan besar bagi kalangan tertentu. Dan hal ini sebuah kemustahilan dapat dipenuhi bagi kalangan warga miskin. Dan karenanya mereka akan tetap memilih mendafkan di sekolah non unggulan. Dalam hal ini begitu kompleksnya persoalan warga miskin terkait dengan persoalan pendidikan yang konon gratis.

Sebagai dampak langsungnya dalam jangka panjang adalah, pada saat anak-anak mereka memasuki usia kerja dan harus berkompetisi di sektor formal. Apa yang bisa dilakukan hanya dengan bekal ijasah formal setingkat SLTP ? Sementara peluang kerja yang tersedia sebagian besar paling rendah untuk tamatan SLTA, itupun kebanyakan sebagai kuli kasar atau buruh pabrik. Pada sisi lain, dengan bekal pengetahuan yang hanya sebatas SLTP, dengan tanpa adanya tambahan life skill, peluang kerja apa yang dapat diciptakan ? Ibarat mengikuti sebuah kompetisi, mereka sudah kalah sebelum bertanding. Keterpurukan mereka di sektor formal, serta ketidak berdayaan mereka menciptakan peluang kerja, tentunya akanmemaksa mereka kembali ke habitat aslinya meneruskan atau lebih tepatnya mewarisi pekerjaan orang tua mereka sebagai buruh tani. Kesemuanya ini pada hakekatnya akan memperpanjang mata rantai kemiskinan.

Kedua, bagi kebanyakan masyarakat miskin, sakit tidak lagi dipandang sekedar sebuah cobaan atau ujian hidup, lebih dari itu merupakan musibah. Untuk kembali menjadi sehat diperlukan biaya yang tidak kecil. Bukan saja karena obat patent (diluat obat-obatan yang masuk dalam daftar obat Generik ) harganya relatif mahal dan cenderung tidak terjangkau kantong mereka, akan tetapi apabila diperlukan tindakan medis khususnya di Rumah Sakit juga dibutuhkan biaya yang cukup besar. Program Jamkesmas yang dibiayai dari dana APBN dan juga Jamkesda yang diambilkan dari dana pemerintah propinsi, yang bertujuan memberikan fasilitas pengobatan dan biaya rawat inap secara gratis bagi warga miskin, nampaknya dalam pelaksanaannya juga banyak mengalami kendala teknis yang sulit di dipenuhi oleh masyarakat miskin. Persyaratan administratif sering kali menjadi momok yang bagi sebagian masyarakat miskin yang tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan menjadi frustasi. Kebanyakan dari mereka disamping tidak memahami tentang mekanisme dan proses tahapan prosedur standart administratif, juga karena pihak-pihak yang berkompeten tidak memberi pengarahan, tuntunan apa yang seharusnya dan tidak seharusnya. Sehingga semua persyaratan administratif tersebut dipandang sebagai suatu hambatan, sementara disisi lain barang kali pasien memerlukan penanganan segera. Sebagai jalan pintas, pada umumnya mereka tidak lagi menggunakan fasilitas pengobatan “gratis” yang memang disediakan oleh pemerintah untuk mereka khususnya warga masyarakat yang tergolong sangat miskin (RTSM). Sekalipun pada akhirnya harus menempuh berbagai cara untuk mendapatkan biaya baik pengobatan maupun perawatan. Untuk mendapatkan uang dalam waktu singkat di daerah pedesaan bukanlah pekerjaan mudah, apalagi kebanyakan warga masyarakat miskin tidak memiliki aset yang dapat dijadikan sebagai jaminan. Langkah alternatif terakhir yang paling mungkin adalah meminjam dari rentenir yang saat ini banyak berkeliaran di daerah pedesaan dengan kedok koperasi simpan pinjam. Kalau ini terjadi maka dapat dipastikan akan semakin menambah daftar panjang persoalan kemiskinan mereka. Salah satu faktornya adalah karena mereka dengan sangat terpaksa harus dapat menyisihkan sebagian penghasilan yang sudah pas-pasan untuk kepentingan mencicil hutang mereka kepada rentenir.

Sedikit berbeda nasib warga masyarakat sangat miskin peserta Program Keluarga Harapan (PKH). Adanya tenaga pendamping tidak sekedar berfungsi membantu pemerintah dalam mewujudkan tujuan program yakni memutus mata rantai kemiskinan dengan cara memastikan bantuan program tepat jumlah dan tepat sasaran serta tepat penggunaan. Lebih dari itu juga mempunyai fungsi pemberdayaan. Yakni dengan pola pendampingan tugas dan fungsi pendamping mengupayakan bagaimana mayarakat miskin peserta program PKH pada akhir pelaksanaan program bisa mandiri baik secara ekonomis maupun sosial.

Kemandirian pada sektor ekonomi dilakukan dengan cara di bimbing serta dibina untuk mengembangkan sektor ekonomi produktif yang disesuaikan dengan potensi diri serta potensi lokal. Yang kesemuanya tersebut diharapakan mampu menambah pendapatan keluarga. Bentuk konkritnya bisa berupa usaha dagang atau peternakan secara berkelompok, semua ini bertujuan bukan sekedar meminimalkan resiko kegagalan. Tetapi dengan kelompok usaha bersama ini (KUBE) diharapkan dapat menjadi wadah atau media pembelajaran bersama. Pada tahapan awal ini dengan pola tangung renteng setiap orang mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama, sehingga bisa saling mengisi kekurangan masing-masing. Fase berikutnya, bagi mereka yang sudah mampu mandiri diperkenankan keluar dari kelompok untuk untuk mengembangkan usaha mereka sendiri.

Teknis yang digunakan untuk dapat mewujudkan kemandirian sosial yakni dengan cara memberi sosialisasi secara berkelanjutan pada masing-masing kelompok secara dialogis. Dengan cara ini diharapkan setiap persoalan sosial yang mungkin sedang atau akan dihadapi dapat dijadikan materi diskusi sekaligus dicarikan solusinya. Sehingga setiap anggota kelompok akan mendapatkan pemahaman dan pengetahuan yang seragam akan berbagai persoalan yang muncul dalam diskusi. Untuk beberapa kasus yang sedang terjadi, maka akan dilakukan pendampingan secara langsung dan bukan sekedar advokasi. Dapat diambil contoh misalnya terkait dengan mekanisme proses persyaratan administrasi pemanfaatan fasilitas kesehatan baik di Puskesmas maupun di Rumah Sakit. Pendampingan dilakukan mulai awal hingga akhir proses. Dalam jangka panjang teknik semacam ini diharapkan dapat diteruskan kepada anggota yang lain ketika mengalami persoalan yang sama.

Jadi inilah sedikit perbedaan antara warga masyarakat miskin yang mendapat program dengan bonus pendampingan dengan mereka yang mendapat bantuan yang bersifat temporary dengan tanpa pendampingan. Bravo pendamping PKH.

Narkoba : Bisa Sebabkan Lumpuh dan Mati Rasa


NARKOBA dan MIRAS
Narkoba dan miras saat ini sudah mewabah dalam masyarakat. Penyebarannya tidak lagi mengenal status ekonomi sosial serta usia. Kita hendaknya mewasdai masalah ini dan saling membantu jika ada kecanduan, karena hanya dengan dukungan orang disekelilingnya dapat sembuh. Korban dari narkoba tidak lagi mengenal batasan umur dan status sosial ekonomi. Tua, muda bahkan anak yang baru menginjak remaja sudah banyak yang terjerat atau menjadi pemakai narkoba. Kebanyakan pecandu terdiri dari kaum remaja, baik mereka dikota maupun di desa yang berasal dari keluarga miskin ataupun kaya, berpendidikan tinggi ataupun biasa-biasa saja.

Pengertian narkoba dan miras serta efeknya
Narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) adalah jenis obat yang mempunyai efek tertentu sehingga berbahaya jika dikonsumsi secara sembarangan, karena itu penggunaannya harus sesuai dengan anjuran dokter.
Efek dari penggunaan Narkoba : menyebabkan lumpuh atau mati rasa, mengurangi rasa sakit, mengendorkan syaraf, menenangkan dan membuat tidur (depresian), merangsang syaraf pusat agar energi atau aktifitas meningkat (stimulansia), dan merubah pikiran atau perasaan agar terasakan hal yang luar biasa (halusinogen).
Ketagihan narkoba akan menyebabkan penurunan kekebalan, keracunan darah dan dapat pula menyebabkan kematian.
Sedangkan miras (minuman keras) adalah minuman yang mengandung alcohol dan dapat menimbulkan ketagihan, bisa berbahaya bagi pemakaiannya karena dapat mempengaruhi pikiran, suasana hati serta perilaku serta menyebabkan kerusakan fungsi organ-organ tubuh.
Efek yang ditimbulkan adalah memberikan rangsangan meneneangkan, menghilangkan rasa sakit, membius serta membuat gembira.

Jenis jenis narkoba dan miras
Beberapa contoh narkoba : Heroin, Ganja, Ecstasy, shabu-shabu, dan Amphetamine (stimulant sintesis)
Beberapa contoh miras : Bir, Wisky, Vodka dengan berbagai jenis merk dan Arak

Tanda-tanda sederhana yang dapat terlihat
Tanda-anda sederhana yang dapat terlihat dari seseorang yang mungkin sedang kecanduan narkoba atau miras:
1. Perubahan perilaku seperti: yang biasanya periang tiba-tiba menjadi pemurung,mudah tersinggung dan cepat marah tanpa alasan yang jelas.
2. Sering menguap dan mengantuk, malas, melamun dan tidak memperhatikan kebersihan atau penampilan diri.
3. Menjadi tidak disiplin, atau sering kabur, baik dirumah maupun disekolah.
4. Nilai raport maupun prestasi lainnya menurun.
5. Bersembunyi ditempat-tempat gelap atau sepi agar tidak terlihat orang.
6. Lebih bergaul dengan orang-orang tertentu saja yang mempunyai unsur-unsur seperti tanda-tanda diatas.
7. Mencuri apasaja milik orang tua atau saudara untuk membeli narkoba atau miras.
8. Sering cemas mudah stress atau gelisah, sukar tidur.
9. Mata merah seperti mengantuk terus atau memakai kacamata hitam terus.

Akibat penyalahgunaan
narkoba atau miras
Apabila ada orang tua atau teman menggunakan secara terus menerus selama satu bulan atau lebih maka akan menjurus pada gejala:
1. Malas makan, sehingga fisik lemah dan kekurangan gizi.
2. Hidup jorok sehingga terkena eksim, sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, murus-murus dn sulit tidur.
3. Gangguan otot jntung dan tekan darah tinggi,gangguan gerak dan keseimbangan tubuh, lamban kerja, ceroboh, sering tegang dan glisah, Hilang kepercayaan diri, apatis, penghayal, dan penuh curiga.
4. Gangguan mental, anti sosial dan asusila, dikucilkan oleh lingkungan.
5. Cenderung menyakiti diri dan bahkan bunuh diri.
6. Kematian karena kerusakan organ tubuh.

Akibat miras
bagi kesehatan reproduksi
Menggunakan narkoba dan miras dapat berakibat buruk bagi kelangsungan hidup untuk mempunyai keturunan diantaranya:
1. Pola hidup jorok dan melupakan norma susilasering mengakibatkan tertularnya penyakit kelamin (PMS, HIV/AIDS).
2. Kecanduan obat terlarang pada orang tua dapat mengakibatkan bayi lahir dengan ketergantungan obat sehingga harus mengalami perawatan intensif yang mahal.
3. Kebiasaan menggunakan narkoba atau miras dapat menurun pada sifat-sifat
4. Wanita pemakai mempunya sikap hidup malas dan kekurangan gizi, mengakibatkan bayi dalam kandungan gugur, berat rendah atau cacat.
5. Dapat mengakibatkan impotensi atau keinginan seksual yang berlebihan/perilaku seksual menyimpang sehingga mengganggu keharmonisan keluarga.

Alasan Remaja Mengkonsumsi Narkoba atau Miras
Beberapa remaja terjerumus ke masalah narkoba/miras karena pengaruh lingkungan dan pergaulan. Awalnya coba-coba, namun lama kelamaan menjadi kebiasaan.
Adanya ajakan atau tawaran serta banyaknya sarana hiburan yang memberikan contoh “pergaulan modern” biasanya mendorong mereka kepada pemakaian secara berkelompok.
Apabila seseorang telah menjadi tebiasa memakainya dan karena mudah untuk mendapatkannya, maka dia akan mencari sendiri sampai menjadi ketagihan dan sulit disembuhkan. Karena zat-zat itu telah meresap ke dalam tubuh dan perasaan. Ketagiah dapat menimbulkan rasa nyeri/demam yang berlebih dan baru akan sembuh jika yang bersangkutan mengkonsumsi obat tersebut. Maka tak jarang orang yang telah ketagihan menjadi pencuri, pemalak dan melakukan apa saja untuk mendapatkan narkoba/miras tersebut.

Cara untuk menghindari Nakoba atau Miras
Jangan pernah berpikir untuk mencoba. Menghindari diri dari pemakaian narkoba adalah dengan sikap menolak untuk memakainya, karena sadar terhadap konsekuensi yang diakibatkan nanti. Sikap penolakan itu diantaranya adalah tidak ikut-ikutan memakai, meskipun setiap hari bergaul dengan mereka yang mengkonsumsinya dan jangan sungkan untuk menyatakan tidak jika ditawari.

Cara mengelola diri agar jauh dari Narkoba dan Miras
1. Aktif memegang teguh norma agama/sosial masyarakat, melibatkan diri dalam keluarga, masyarakat dan keagamaan, melakukan olah raga, melakukan kegiatan hobby, rekreasi atau bermain dengan teman, dan kembangkan diri melalui ketrampilan.
2. Istirahat cukup, dan asupan gizi seimbang
3. Hadapi persoalan jangan terlalu panik, percaya hidup ada yang mengatur dan kita wajib menjalankannya.

Ditulis Oleh :
Hari Widhiantoro
Pendamping PKH Kec. Pilangkenceng

Pengaruh Kemiskinan Terhadap Pendidikan


Kemiskinan identik dengan kebodohan, ungkapan itu barangkali tidaklah terlalu jauh dari kenyataan kalau dilihat pada masyarakat didaerah pinggiran khususnya desa yang jauh dari jangkauan informasi, desa terpencil dan terisolir, yang kebanyakan orang menyebutnya desa tertinggal.
Desa yang demikian mayoritas masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan dengan tingkat SDM rata-rata rendah, hal ini salah satunya di pengaruhi oleh minimnya informasi yang masuk. Dengan demikian masyarakat yang hidup di desa seperti itu akan tertutup pengetahuannya. Salah satu ciri karakteristiknya adalah sikap apatis (masa bodoh) terhadap perkembangan yang terjadi di dunia luar. Energi berfikir mereka berputar-putar pada persoalan bagaimana pemenuhan kebutuhan dasar mereka tercukupi.
Mereka tidak mampu ber empati (membayangkan peran lain diluar dirinya) terhadap peran yang dianggap jauh di atasnya.
Dalam kaitannya dengan kurangnya pengetahuan seseorang maka akan berpengaruh pula pada pola pikir mereka. Baik berfikir untuk dirinya sendiri, lingkungan sekitarnya maupun dalam hal mendidik anak-anaknya. Artinya ada sebuah korelasi (hubungan) yang cukup signifikan antara tingkat pengetahuan dengan kepedualian sosial. Kalau saja ketidaktahuan atau kebodohan itu sudah melekat pada pola fikir seseorang maka segala langkah yang diambil bukan karena berdasarkan pengetahuan, akan tetapi lebih dikarenakan faktor kebiasaan yang dilakukan terus menerus, turun temurun. Seperti kalau boleh disimpilkan ada sebuah pola tentang kebodohan yang terus diwariskan ke anak cucunya dan itu akan sulit sekali untuk merubahnya.
Dalam hal mendidik anak misalnya, kalau seseorang minim pengetahuan atau tidak pernah mengenyam pendidikan tentunya akan sulit bagi mereka dalam hal mengarahkan anak-anaknya untuk berkembang menjadi lebih baik. Apalagi memberi motivasi bagi anak-anaknya untuk lebih maju dalam bersekolah.
Dalam kaitannya dengan program PKH motivasi dan dukungan orang tua sangatlah mutlak dibutuhkan, agar seorang anak lebih giat dalam belajar, yang nantinya diharapkan akan menumbuhkan keinginan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Dengan dorongan dan motivasi orang tua, diharapkan pula pola perkembangan anak akan lebih terkontrol. Bukankah waktu terbanyak bagi anak adalah di lingkunganan keluarga ? Secara matematis, dalam satu hari hanya 6 jam waktu yang diperlukan seorang anak di sekolahnya, sisanya berada di rumah.

ditulis oleh : 
Yuli Siswantini, Pendamping PKH Kec. Gemarang

Bagaimana Dengan Kesehatan???
KESEHATAN ADALAH HAK DASAR !!!!
Sehat itu adalah hak dasar yang dimiliki dan melekat pada setiap manusia di negeri ini tanpa terkecuali. Kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan suatu bangsa dimana itu tecermin dalam usia harapan hidup warga serta  kemampuan dan kesempatan warga yang sama dan sejajar dalam mengakses fasilitas kesehatan yang disediakan oleh Negara.

Tidak terkecuali warga miskin yang mengalami sakit dan harus berobat ke rumah sakit maupun fasilitas kesehatan lainnya. Masalah biaya selalu menjadi kendala, seperti banyak kasus yang terjadi di republik ini yaitu pasien miskin ditolak berobat ke rumah sakit dengan alasan rumah sakit sudah penuh, masalah administrasi lainnya( depkes/PT Askes memiliki tunggakan uang pada rumah sakit)  dan banyak alasan lainnya.
Negara wajib menyediakan kesehatan yang murah dan mudah diakses oleh setiap warga, baik kualitas maupun pembiayaannya. Meskipun Negara sudah memiliki program kesehatan untuk masyarakat miskin yaitu Jamkesmas ( Jamkesda, untuk kabupaten/kota) dan yang lainnya. Namun tetap saja ada warga miskin yang tidak mampu mengakses kesehatan karena tidak punya biaya, tidak memiliki kartu Jamkesmas.  Juga bagi peserta Program Keluarga Harapan (PKH) yang tidak memiliki kartu Jamkesmas dapat berobat di fasilitas kesehatan/RS pemerintah dengan menggunakan kartu PKH sebagai bukti untuk berobat. Tidak ada lagi alasan dari pihak rumah sakit untuk menolak pasien miskin dengan alasan tidak mampu membayar karena pada dasarnya biaya itu ditanggung oleh Negara sampai tuntas. Semoga tidak ada lagi warga miskin yang tidak dapat mengakses kesehatan di bumi pertiwi ini.

Tips berobat bagi peserta PKH yang tidak memiliki kartu Jamkesmas :
1.       Mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari desa, di foto kopi 3 lembar
2.       Surat rujukan dari Puskesmas, di foto kopi 3 lembar
3.       Foto kopi kartu Peserta PKH 3 lembar
4.       Foto kopi KK 3 lembar
5.       Semua berkas di atas didaftarkan ke loket Jamkesmas/Askes
6.       Masuk ke loket pendaftaran
7.       Peserta sudah bisa berobat (rawat jalan/inap)

Ditulis oleh : 
Firdaus Anderson, Pendamping PKH Kec. Gemarang

Mandiri Melalui Pendidikan

Psikolog senior, Sartono Mukadis pernah memberikan ilustrasi tentang kondisi mental generasi muda kaitannya dengan dunia kerja. “Tak perlu repot- repot melakukan tes psikologi. Sodorkan saja sebuah pacul dan sempritan, lalu minta mereka untuk memilih salah satu diantaranya sebagai bekal mencari nafkah. Saya yakin mereka akan memilih sempritan.”

Memilih pacul berarti siap- siap membanting tulang di bawah terik matahari. Hasilnya baru dipetik dalam hitungan bulan dan tahun, itupun kalau tidak ada hama dan harga panen anjlok. Memilih sempritan, berarti tidak perlu membanting tulang. Cukup dengan menggerakkan tangan diantara kepadatan lalu lintas, hasilnya sudah bisa dipetik.

Sekali lagi itulah gambaran generasi muda kita sekarang dan mudah- mudahan tidak demikian di masa mendatang. Maka, banyak hal yang perlu dibenahi untuk membuang jauh paradigma seperti itu, dan salah satunya melalui sistem pendidikan.

Diakui atau tidak, sistem pendidikan kita sekarang berpola tidak applicable, seakan- akan terjebak di menara gading, dan tentu saja sangat kurang memiliki relevansi dengan dunia nyata. Kebnyakan kita masih memandang pendidikan hanya ditekankan untuk mengejar nilai Ujian Nasional dan berhasil menggaet ijazah. Seolah dengan nilai Ujian Nasional dan ijazah itu kehidupan akan sesuai dengan yang dicita- citakan. Padahal dunia kerja yang nyata tidaklah seperti yang diharapkan.

Pendidikan kemandirian, itulah kata kunci yang diperlukan untuk menanggulangi fenomena ini, dan salah satunya dengan pendidikan kewirausahaan. Ya, bukankah pendidikan adalah proses memaknai pengalaman. Maka semestinya pengalaman anak sehari- hari, seperti ketika membantu orang tua jualan, melaut, beternak dan sebagainya bisa dibawa ke ruang kelas dan didiskusikan dan dirujukkan pada buku- buku tertentu. Sehingga anak bisa menjadi pakar di bidang yang ia geluti sehari- hari di lingkungannya serta mampu menciptakan generasi yang bermental die hard (pantang menyerah) dan “bermuka tebal”. Karena dua modal itu adalah kunci sukses untuk memulai usaha menuju kemandirian. Pendidikan jangan sampai memunculkan generasi priyayi yang pemalu, mudah tersinggung dan selalu ingin dijunjung atau dihormati.

Pendidikan tak pernah berproses dalam ruang vakum. Pendidikan tak hanya terjadi dalam ruang- ruang kelas yang sempit. Pendidikan pun berlangsung di tengah kancah kehidupan masyarakat yang kompleks. Tanpa bisa dielakkan, masyarakat dengan segala perangainya dapat diimajinasikan sebagai sebuah “ruang kelas” raksasa. Inilah ruang kelas dengan sudut pandang luas tak bertepi. Dari sini pula dapat dimengerti pada akhirnya, mengapa pembaharuan masyarakat mencetuskan pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap pendidikan.

Sekali lagi potensi kemandirian dan kewirausahaan harus ditumbuhkan dan digalakkan di lembaga- lembaga pendidikan formal maupun informal. Era sekarang adalah era menuju “Accelerated Learning for 2030 years”, dimana titik yang akan dituju yaitu mengantarkan anak bangsa kita mengembangkan ketrampilan yang tepat dan memandang bahwa kekayaan bangsa ini berada pada hasil kualitas otaknya dalam bekerja. Dan belajar adalah merupakan petualangan hidup. Artinya, belajar tanpa batas usia dan terus berpikir kreatif, inovatif, enerjik, produktif, berwatak kerja keras, menghargai waktu dan pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan hidup dan menemukan solusi secara mandiri.

Pendidikan kita perlu disinergikan antara teori dengan aktualisasi di dunia kerja. Agar Sistem Pendidikan Nasional melahirkan tenaga kerja yang memiliki daya saing, memiliki jiwa kemandirian, inovatif dan kreatif di dunia internasional. Karena, dengan sistem pendidikan yang baik dan benar, mampu mengubah sebuah bangsa menjadi maju jaya. Bahkan dengan pendidikan mampu mengubah status bangsa menjadi nomor satu yang ujung- ujungnya dihormati di mata dunia. Di beberapa negara seperti Cina, Jepang, malaysia dan negara lainnya dihormati karena kemajuan di sektor pendidikan. Dengan pendidikan pula berbagai negara di dunia ini bisa keluar dari krisis ekonomi secara cepat, begitu juga sebaliknya, tanpa sistem pendidikan yang tepat guna sangat sulit bangsa ini keluar dari krisis yang berkepanjangan.

Lembaga pendidikan haruslah mampu menelurkan anak- anak didik yang mempunyai karakter kemandirian. Dengan karakter kemandirian ini akan melahirkan sifat progresif, visioner, willpower (kemauan keras), toil (kerja keras) dan produktif. Karena itu “pendidikan karakter mandiri” perlu dibangun di negeri ini melalui sistem pendidikan secara serius agar para anak didik mempunyai orientasi bertindak dalam menata kehidupannya.

Semoga dengan dukungan Program Keluarga Harapan (PKH) yang bertujuan untuk memutus mata rantai kemiskinan dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pendidikan dan kesehatan dapat memacu anak peserta PKH untuk tetap terus bersekolah, tidak hanya lulus SMP tetapi hingga setingkat SMA, serta dengan dukungan “Omah Pinter” dapat memberikan bekal “pendidikan karakter mandiri” bagi mereka sejak awal dapat mewujudkan kemandirian dalam diri dan hidup mereka di masa depan, sehingga slogan PKH “Anak saya tak boleh miskin” benar- benar terwujud di masa yang akan datang. Amin.

ditulis oleh :
Fidyan Rozzaqi
pendamping PKH Kec. Jiwan

kita harus melayani mereka

kita harus melayani mereka
terima kasih PKH