Kamis, 29 September 2011

Mandiri Melalui Pendidikan

Psikolog senior, Sartono Mukadis pernah memberikan ilustrasi tentang kondisi mental generasi muda kaitannya dengan dunia kerja. “Tak perlu repot- repot melakukan tes psikologi. Sodorkan saja sebuah pacul dan sempritan, lalu minta mereka untuk memilih salah satu diantaranya sebagai bekal mencari nafkah. Saya yakin mereka akan memilih sempritan.”

Memilih pacul berarti siap- siap membanting tulang di bawah terik matahari. Hasilnya baru dipetik dalam hitungan bulan dan tahun, itupun kalau tidak ada hama dan harga panen anjlok. Memilih sempritan, berarti tidak perlu membanting tulang. Cukup dengan menggerakkan tangan diantara kepadatan lalu lintas, hasilnya sudah bisa dipetik.

Sekali lagi itulah gambaran generasi muda kita sekarang dan mudah- mudahan tidak demikian di masa mendatang. Maka, banyak hal yang perlu dibenahi untuk membuang jauh paradigma seperti itu, dan salah satunya melalui sistem pendidikan.

Diakui atau tidak, sistem pendidikan kita sekarang berpola tidak applicable, seakan- akan terjebak di menara gading, dan tentu saja sangat kurang memiliki relevansi dengan dunia nyata. Kebnyakan kita masih memandang pendidikan hanya ditekankan untuk mengejar nilai Ujian Nasional dan berhasil menggaet ijazah. Seolah dengan nilai Ujian Nasional dan ijazah itu kehidupan akan sesuai dengan yang dicita- citakan. Padahal dunia kerja yang nyata tidaklah seperti yang diharapkan.

Pendidikan kemandirian, itulah kata kunci yang diperlukan untuk menanggulangi fenomena ini, dan salah satunya dengan pendidikan kewirausahaan. Ya, bukankah pendidikan adalah proses memaknai pengalaman. Maka semestinya pengalaman anak sehari- hari, seperti ketika membantu orang tua jualan, melaut, beternak dan sebagainya bisa dibawa ke ruang kelas dan didiskusikan dan dirujukkan pada buku- buku tertentu. Sehingga anak bisa menjadi pakar di bidang yang ia geluti sehari- hari di lingkungannya serta mampu menciptakan generasi yang bermental die hard (pantang menyerah) dan “bermuka tebal”. Karena dua modal itu adalah kunci sukses untuk memulai usaha menuju kemandirian. Pendidikan jangan sampai memunculkan generasi priyayi yang pemalu, mudah tersinggung dan selalu ingin dijunjung atau dihormati.

Pendidikan tak pernah berproses dalam ruang vakum. Pendidikan tak hanya terjadi dalam ruang- ruang kelas yang sempit. Pendidikan pun berlangsung di tengah kancah kehidupan masyarakat yang kompleks. Tanpa bisa dielakkan, masyarakat dengan segala perangainya dapat diimajinasikan sebagai sebuah “ruang kelas” raksasa. Inilah ruang kelas dengan sudut pandang luas tak bertepi. Dari sini pula dapat dimengerti pada akhirnya, mengapa pembaharuan masyarakat mencetuskan pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap pendidikan.

Sekali lagi potensi kemandirian dan kewirausahaan harus ditumbuhkan dan digalakkan di lembaga- lembaga pendidikan formal maupun informal. Era sekarang adalah era menuju “Accelerated Learning for 2030 years”, dimana titik yang akan dituju yaitu mengantarkan anak bangsa kita mengembangkan ketrampilan yang tepat dan memandang bahwa kekayaan bangsa ini berada pada hasil kualitas otaknya dalam bekerja. Dan belajar adalah merupakan petualangan hidup. Artinya, belajar tanpa batas usia dan terus berpikir kreatif, inovatif, enerjik, produktif, berwatak kerja keras, menghargai waktu dan pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan hidup dan menemukan solusi secara mandiri.

Pendidikan kita perlu disinergikan antara teori dengan aktualisasi di dunia kerja. Agar Sistem Pendidikan Nasional melahirkan tenaga kerja yang memiliki daya saing, memiliki jiwa kemandirian, inovatif dan kreatif di dunia internasional. Karena, dengan sistem pendidikan yang baik dan benar, mampu mengubah sebuah bangsa menjadi maju jaya. Bahkan dengan pendidikan mampu mengubah status bangsa menjadi nomor satu yang ujung- ujungnya dihormati di mata dunia. Di beberapa negara seperti Cina, Jepang, malaysia dan negara lainnya dihormati karena kemajuan di sektor pendidikan. Dengan pendidikan pula berbagai negara di dunia ini bisa keluar dari krisis ekonomi secara cepat, begitu juga sebaliknya, tanpa sistem pendidikan yang tepat guna sangat sulit bangsa ini keluar dari krisis yang berkepanjangan.

Lembaga pendidikan haruslah mampu menelurkan anak- anak didik yang mempunyai karakter kemandirian. Dengan karakter kemandirian ini akan melahirkan sifat progresif, visioner, willpower (kemauan keras), toil (kerja keras) dan produktif. Karena itu “pendidikan karakter mandiri” perlu dibangun di negeri ini melalui sistem pendidikan secara serius agar para anak didik mempunyai orientasi bertindak dalam menata kehidupannya.

Semoga dengan dukungan Program Keluarga Harapan (PKH) yang bertujuan untuk memutus mata rantai kemiskinan dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pendidikan dan kesehatan dapat memacu anak peserta PKH untuk tetap terus bersekolah, tidak hanya lulus SMP tetapi hingga setingkat SMA, serta dengan dukungan “Omah Pinter” dapat memberikan bekal “pendidikan karakter mandiri” bagi mereka sejak awal dapat mewujudkan kemandirian dalam diri dan hidup mereka di masa depan, sehingga slogan PKH “Anak saya tak boleh miskin” benar- benar terwujud di masa yang akan datang. Amin.

ditulis oleh :
Fidyan Rozzaqi
pendamping PKH Kec. Jiwan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kita harus melayani mereka

kita harus melayani mereka
terima kasih PKH