Kamis, 29 September 2011

Orang Miskin Dilarang Pintar

Joke yang dilontarkan pengamat sosial bahwa orang miskin dilarang keras untuk pandai atau sakit, karena untuk hal itu dibutuhkan biaya yang cukup mahal, nampaknya bukan sekedar lelucon belaka. Pernyataan seperti ini tentunya mengundang silang pendapat dari berbagai pihak, khususnya antara pemerhati masalah sosial dengan kalangan pemerintah. Bagaimana realitas sosial yang ada dalam masyarakat kita ? Potret utuh masyarakat kita yang berada pada strata sosial paling bawah, menggambarkan bahwa kehidupan sosial mereka benar-benar berada pada posisi kemiskinan absolut. Miskin harta, miskin ilmu dan juga miskin pengetahuan. Jangankan saving, untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari saja sudah cukup sulit. Aktivitas keseharian mereka terjebak pada sebuah rutinitas kerja yang cenderung mengandalkan kemampuan otot daripada akal sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar keluarganya. Pola management ekonomi mereka dari tangan ke mulut, artinya seberapapun besarnya pendapatan hari ini akan habis untuk kebutuhan konsumsi hari ini. Dan untuk kebutuhan esok hari, akan dicari esok hari. Demikian seterusnya.

Mengapa pandai dan sakit menjadi sebuah komoditas yang sangat mahal harganya dan sulit dijangkau oleh sebagian besar golongan masyarakat miskin ? Bukankah program anti kemiskinan dengan semua varian nya sudah cukup banyak yang digelontorkan kepada masyarakat miskin ? Berbagai program pemerintah yang terintegrasi dalam Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (gerdutaskin) dalam prakteknya hanya menyelesaikan persoalan kemiskinan pada sisi permukaannya saja ( temporary ) , sementara akar permasalahan serta dampak dari kemiskinan itu sendiri belum sepenuhnya tersentuh. Terlalu banyak persoalan non teknis yang belum sepenuhnya dipahami oleh para pembuat kebijakan, terutama terkait dengan aspek sosiologis masyarakat miskin.

Pertama, program pemerintah yang terkait langsung dengan masalah pendidikan gratis atau yang sering disebut dengan Program Wajib Belajar (wajar), jangka waktunya hanya sembilan tahun (Pendidikan Dasar) atau setara dengan SLTP. Sementara untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya (SLTA sederajat) harus ditempuh dengan biaya sendiri. Artinya bagi mereka yang kurang berkemampuan dari aspek finansial sekalipun, maka semua biaya pendidikan sepenuhnya menjadi beban tangung jawab pribadi, karena pemerintah tidak lagi mensubsidi biaya pendidikan. Kondisi semacam inilah yang sering kali memaksa para orang tua dari golongan masyarakat miskin tidak lagi mampu membiayai sekolah anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Karena fakta sosialnya adalah bahwa pemenuhan kebutuhan dasar bagi keluarga menjadi prioritas utamanya. Sehingga pendidikan dipandang bukanlah sebuah kebutuhan yang prioritas. Selesai tamat sekolah SMP tidak lagi melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Waktu dan tenaga mereka akan lebih bermanfaat digunakan untuk bekerja membantu ekonomi keluarga di ladang dan sawah yang mereka miliki atau menggembala ternak.

Kendala lainnya adalah, sekalipun si anak mempunyai cukup kemampuan dengan nilai kelulusan yang cukup memadai untuk diterima di sekolah unggulan, untuk bisa melanjutkan ke Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI) misalnya adalah sesuatu yang sulit untuk di lakukan. Sebabnya adalah, bukan hanya karena jumlah penerimaan siswanya terbatas, akan tetapi setiap anak didik yang diterima akan dipungut biaya yang jumlahnya lumayan besar bagi kalangan tertentu. Dan hal ini sebuah kemustahilan dapat dipenuhi bagi kalangan warga miskin. Dan karenanya mereka akan tetap memilih mendafkan di sekolah non unggulan. Dalam hal ini begitu kompleksnya persoalan warga miskin terkait dengan persoalan pendidikan yang konon gratis.

Sebagai dampak langsungnya dalam jangka panjang adalah, pada saat anak-anak mereka memasuki usia kerja dan harus berkompetisi di sektor formal. Apa yang bisa dilakukan hanya dengan bekal ijasah formal setingkat SLTP ? Sementara peluang kerja yang tersedia sebagian besar paling rendah untuk tamatan SLTA, itupun kebanyakan sebagai kuli kasar atau buruh pabrik. Pada sisi lain, dengan bekal pengetahuan yang hanya sebatas SLTP, dengan tanpa adanya tambahan life skill, peluang kerja apa yang dapat diciptakan ? Ibarat mengikuti sebuah kompetisi, mereka sudah kalah sebelum bertanding. Keterpurukan mereka di sektor formal, serta ketidak berdayaan mereka menciptakan peluang kerja, tentunya akanmemaksa mereka kembali ke habitat aslinya meneruskan atau lebih tepatnya mewarisi pekerjaan orang tua mereka sebagai buruh tani. Kesemuanya ini pada hakekatnya akan memperpanjang mata rantai kemiskinan.

Kedua, bagi kebanyakan masyarakat miskin, sakit tidak lagi dipandang sekedar sebuah cobaan atau ujian hidup, lebih dari itu merupakan musibah. Untuk kembali menjadi sehat diperlukan biaya yang tidak kecil. Bukan saja karena obat patent (diluat obat-obatan yang masuk dalam daftar obat Generik ) harganya relatif mahal dan cenderung tidak terjangkau kantong mereka, akan tetapi apabila diperlukan tindakan medis khususnya di Rumah Sakit juga dibutuhkan biaya yang cukup besar. Program Jamkesmas yang dibiayai dari dana APBN dan juga Jamkesda yang diambilkan dari dana pemerintah propinsi, yang bertujuan memberikan fasilitas pengobatan dan biaya rawat inap secara gratis bagi warga miskin, nampaknya dalam pelaksanaannya juga banyak mengalami kendala teknis yang sulit di dipenuhi oleh masyarakat miskin. Persyaratan administratif sering kali menjadi momok yang bagi sebagian masyarakat miskin yang tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan menjadi frustasi. Kebanyakan dari mereka disamping tidak memahami tentang mekanisme dan proses tahapan prosedur standart administratif, juga karena pihak-pihak yang berkompeten tidak memberi pengarahan, tuntunan apa yang seharusnya dan tidak seharusnya. Sehingga semua persyaratan administratif tersebut dipandang sebagai suatu hambatan, sementara disisi lain barang kali pasien memerlukan penanganan segera. Sebagai jalan pintas, pada umumnya mereka tidak lagi menggunakan fasilitas pengobatan “gratis” yang memang disediakan oleh pemerintah untuk mereka khususnya warga masyarakat yang tergolong sangat miskin (RTSM). Sekalipun pada akhirnya harus menempuh berbagai cara untuk mendapatkan biaya baik pengobatan maupun perawatan. Untuk mendapatkan uang dalam waktu singkat di daerah pedesaan bukanlah pekerjaan mudah, apalagi kebanyakan warga masyarakat miskin tidak memiliki aset yang dapat dijadikan sebagai jaminan. Langkah alternatif terakhir yang paling mungkin adalah meminjam dari rentenir yang saat ini banyak berkeliaran di daerah pedesaan dengan kedok koperasi simpan pinjam. Kalau ini terjadi maka dapat dipastikan akan semakin menambah daftar panjang persoalan kemiskinan mereka. Salah satu faktornya adalah karena mereka dengan sangat terpaksa harus dapat menyisihkan sebagian penghasilan yang sudah pas-pasan untuk kepentingan mencicil hutang mereka kepada rentenir.

Sedikit berbeda nasib warga masyarakat sangat miskin peserta Program Keluarga Harapan (PKH). Adanya tenaga pendamping tidak sekedar berfungsi membantu pemerintah dalam mewujudkan tujuan program yakni memutus mata rantai kemiskinan dengan cara memastikan bantuan program tepat jumlah dan tepat sasaran serta tepat penggunaan. Lebih dari itu juga mempunyai fungsi pemberdayaan. Yakni dengan pola pendampingan tugas dan fungsi pendamping mengupayakan bagaimana mayarakat miskin peserta program PKH pada akhir pelaksanaan program bisa mandiri baik secara ekonomis maupun sosial.

Kemandirian pada sektor ekonomi dilakukan dengan cara di bimbing serta dibina untuk mengembangkan sektor ekonomi produktif yang disesuaikan dengan potensi diri serta potensi lokal. Yang kesemuanya tersebut diharapakan mampu menambah pendapatan keluarga. Bentuk konkritnya bisa berupa usaha dagang atau peternakan secara berkelompok, semua ini bertujuan bukan sekedar meminimalkan resiko kegagalan. Tetapi dengan kelompok usaha bersama ini (KUBE) diharapkan dapat menjadi wadah atau media pembelajaran bersama. Pada tahapan awal ini dengan pola tangung renteng setiap orang mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama, sehingga bisa saling mengisi kekurangan masing-masing. Fase berikutnya, bagi mereka yang sudah mampu mandiri diperkenankan keluar dari kelompok untuk untuk mengembangkan usaha mereka sendiri.

Teknis yang digunakan untuk dapat mewujudkan kemandirian sosial yakni dengan cara memberi sosialisasi secara berkelanjutan pada masing-masing kelompok secara dialogis. Dengan cara ini diharapkan setiap persoalan sosial yang mungkin sedang atau akan dihadapi dapat dijadikan materi diskusi sekaligus dicarikan solusinya. Sehingga setiap anggota kelompok akan mendapatkan pemahaman dan pengetahuan yang seragam akan berbagai persoalan yang muncul dalam diskusi. Untuk beberapa kasus yang sedang terjadi, maka akan dilakukan pendampingan secara langsung dan bukan sekedar advokasi. Dapat diambil contoh misalnya terkait dengan mekanisme proses persyaratan administrasi pemanfaatan fasilitas kesehatan baik di Puskesmas maupun di Rumah Sakit. Pendampingan dilakukan mulai awal hingga akhir proses. Dalam jangka panjang teknik semacam ini diharapkan dapat diteruskan kepada anggota yang lain ketika mengalami persoalan yang sama.

Jadi inilah sedikit perbedaan antara warga masyarakat miskin yang mendapat program dengan bonus pendampingan dengan mereka yang mendapat bantuan yang bersifat temporary dengan tanpa pendampingan. Bravo pendamping PKH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kita harus melayani mereka

kita harus melayani mereka
terima kasih PKH