Minggu, 01 Agustus 2010

OMAH PINTER (baca : Rumah Pintar)

Menggagas OMAH PINTER bagi anak didik peserta PKH

Microsoft Word - blank.doc

Bagi kebanyakan warga Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) kemiskinan bukan saja bermakna miskin harta, akan tetapi juga dapat berarti miskin pengetahuan. Karenanya tidak jarang kebutuhan masalah pendidikan untuk anak seringkali dianggap sesuatu yang kurang penting atau bukan menjadi prioritas utama. Fokus kehidupan mereka berkutat pada persoalan pada upaya bagaimana pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dapat tercukupi.

Itulah sebabnya masalah pendidikan anak sebagai generasi penerus bisa menjadi faktor kebutuhan yang nomor buncit, yang pasti bukan sesuatu yang teramat mendesak dan suatu keharusan. Jargon “banyak anak banyak rejeki, mangan ora mangan waton kumpul, nrimo ing pandum“, masih berkembang subur di masyarakat pedesaan yang berbau agraris tradisonal. Kesemuanya itu merupakan bentuk fatalisme dan ketidak berdayaan mereka dalam mengarungi kehidupan.

Kebanyakan dari mereka lebih senang apabila seluruh anggota keluarga secara bersama-sama saling bahu membahu mencari nafkah sesuai kemampuan dan usianya, ketimbang membuang sebagian waktu untuk belajar dan bersekolah menuntut ilmu. Pola ekonomi mereka kemas dengan majemen dari tangan ke mulut, artinya berapapun hasil yang mereka dapatkan habis untuk memenuhi kebutuhan isi perut keluarga hari itu juga. Nyaris tidak ada saving untuk antisipasi kebutuhan yang bersifat mendesak. Inilah salah satu factor penyebab mengapa proses kemiskinan berlangsung dari generasi ke generasi seolah tidak pernah menemui titik perhentian. Ketidak mampuan mereka meraih peluang kesempatan kerja di sector formal, akibat terbatasnya pendidikan dan ketrampilan (life skill) yang dimiliki, menjadikan kebanyakan dari mereka berserah diri pada nasib. Bahwa nasib yang menjadikan mereka tetap miskin, dan karena factor keturunan kaum soro mereka miskin, merupakan bahasa klise yang masih mengakar kuat dikalangan masyarakat miskin. Jangankan bercita-cita menjadi orang kaya, mimpipun barangkali tidak pernah. Nasib, sekali lagi nasib yang pantas mereka salahkan. Dengan menyalahkan nasib, mereka tidak menanggung resiko sosial bersinggungan dengan nilai dan norma sosial yang berlaku.

Program Keluarga Harapan (PKH) yang sudah berlangsung sejak tahun 2007 , merupakan sebuah program yang dirancang secara khusus sebagai pilot project gerakan terpadu pengentasan kemiskinan (Gerdutaskin) dengan tujuan memutus mata rantai kemiskinan. Berbeda dengan program taskin yang lainnya, PKH mengambil peran pada segment calon generasi penerus yakni anak-anak mulai dari usia balita, sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP) dan bahkan ibu hamil juga menjadi sasaran pelaksanaan program. Dengan memberi bantuan pada ibu hamil dan balita, diharapkan akan ada perbaikan gizi pada si anak nantinya. Dan dengan demikian pula diharapkan kelak mampu meningkatkan baik kesehatan ibu dan anak maupun kecerdasan si jabang bayi. Pendek kata calon bibit unggul diharapkan dapat lahir dari adanya bantuan tersebut, Sementara dengan bantuan biaya pendidikan untuk anak usia sekolah dasar dan menengah pertama, diharapkan minimal memperoleh bekal pengetahuan pendidikan dasar 9 tahun. Lalu bagaimana selanjutnya setelah bantuan PKH diputus ketika anak lupus SMP ?

Yang menjadi pertanyaan adalah : “Apakah dengan memberi bantuan biaya pendidikan kepada anak didik peserta PKH, akan secara otomatis meningkatkan prestasi mereka di sekolah“. Nampaknya korelasi positif antara bantuan biaya pendidikan dengan peningkatan prestasi belajar siswa masih perlu adanya sebuah pembuktian melalui kajian ilmiah secara khusus. Diakui atau tidak banyak factor yang dapat mempengaruhi prestasi anak di sekolah. Diantaranya adalah masalah pengawasan dan kepedulian orang tua, kesempatan belajar di rumah (ketersediaan waktu relajar), pendamping/pembimbing belajar, kelengkapan sarana penunjang belajar (buku , alat peraga edukatif, LKS, dll).

Bahwa kemiskinan dekat dengan ketidak berdayaan (powerlesnes), kepasrahan (fatalistik), kehampaan makna (meaninglesnes) dalam menghadapi kenyataan hidup, adalah sebuah realitas sosial yang kesemuanya menjadi factor pendorong terjadinya proses stagnasi prestasi belajar anak. Berangkat dari kenyataan tersebut, perlu adanya sebuah terobosan yang bersifat kreatif inovatif guna mendobrak berbagai hambatan yang mungkin menjadi penyebab terjadinya kemandegan prestasi belajar anak khususnya bagi peserta PKH.

Pendirian rumah pintar yang dikompilasikan dengan memberi semacam kursus bimbingan belajar (les privat) kepada anak peserta PKH merupakan sebuah ide gagasan yang nampaknya dapat menerobos barikade hambatan dimaksud. Dengan adanya tambahan waktu belajar di luar jam sekolah dengan dipandu tutor yang berpengalaman, setidaknya akan membantu meningkatkan pemahaman anak terhadap berbagai mata pelajaran di sekolah, serta mingkatkan pengetahuan mereka. Kesemuanya itu diharapkan akan merangsang anak untuk dapat berprestasi disekolah. Bukankah anak-anak dari kalangan the have mampu berprestasi juga dikarenakan berbagai les privat yang disediakan oleh orang tua mereka. Prestasi bukanlah hak milik prerogratif anak-anak dari kalangan berduit. Seperti kata bijak Lao Tze : “ Jadikan keterbatasan sebagai peluang meraih prestasi “. Kemiskinan adalah sebuah kebetulan, mata rantai kemiskinan dapat diputus dengan mejadikan anak-anak kaum papa berprestasi sejajar dengan kalangan menengah atas. Dengan prestasi yang diraih anak, semoga akan merangsang orang tua untuk mendorong anak-anaknya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan bekal pendidikan formal dan pengetahuan yang cukup, kelak dikemudian hari harapan untuk merubah nasib ke arah yang lebih baik akan semakin terbuka lebar. Semoga !!!


Ditulis Oleh :
Drs. Djoko Santoso, Pendamping UPPKH Kecamatan Saradan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kita harus melayani mereka

kita harus melayani mereka
terima kasih PKH