Tidak mudah mengubah pola pikir RTSM peserta PKH agar mau dan mampu memahami arti penting pendidikan bagi masa depan putra putri mereka. Tidak jarang mereka menganggap bahwa mencari nafkah atau tidak sekolah jauh lebih baik daripada sekolah mengingat himpitan beban ekonomi keluarga (kemiskinan).
Namun hal seperti ini merupakan tantangan tersendiri yang ada di hadapan kita selama kegiatan pendampingan, mengingat salah satu tujuan PKH yang paling penting adalah mengubah pola pikir dan perilaku RTSM terhadap perbaikan status kesehatan dan pendidikan anak-anak RTSM sehingga diharapkan rantai kemiskinan dapat terputus di masa yang akan datang.
Studi kasus ini dimulai dari tahun 2007 (awal pelaksanaan Progran Keluarga Harapan) sampai dengan akhir tahun 2009, dengan mengambil sampel anak-anak peserta PKH ( pada tingkat SD dan SMP atau sederajat) di 8 Desa wilayah dampingan penulis yang berada di Kecamatan Mejayan.
Tujuannya adalah untuk menggambarkan dan menganalisa fenomena anak peserta PKH yang putus sekolah atau yang tidak bersedia sekolah dalam memenuhi kewajiban PKH di bidang pendidikan dan kaitannya dalam menyelesaikan wajib belajar 9 tahun.
Jumlah anak SD dan SMP peserta PKH sampai dengan pemutakhiran data terakhir 2009 adalah 334 anak, yang terdiri dari 210 anak yang bersekolah di SD dan 124 di SMP. Sedangkan jumlah fasilitas pendidikan yang ada adalah 34 sekolah yang terdiri dari 8 SMP (5 SMP Negeri dan 3 SMP Swasta), 2 MTS (1 MTS Negeri dan 1 MTS Swasta), 2 Kejar Paket B, 23 SDN dan 1 SDLB.
Hasilnya adalah sebagai berikut :
Namun hal seperti ini merupakan tantangan tersendiri yang ada di hadapan kita selama kegiatan pendampingan, mengingat salah satu tujuan PKH yang paling penting adalah mengubah pola pikir dan perilaku RTSM terhadap perbaikan status kesehatan dan pendidikan anak-anak RTSM sehingga diharapkan rantai kemiskinan dapat terputus di masa yang akan datang.
Studi kasus ini dimulai dari tahun 2007 (awal pelaksanaan Progran Keluarga Harapan) sampai dengan akhir tahun 2009, dengan mengambil sampel anak-anak peserta PKH ( pada tingkat SD dan SMP atau sederajat) di 8 Desa wilayah dampingan penulis yang berada di Kecamatan Mejayan.
Tujuannya adalah untuk menggambarkan dan menganalisa fenomena anak peserta PKH yang putus sekolah atau yang tidak bersedia sekolah dalam memenuhi kewajiban PKH di bidang pendidikan dan kaitannya dalam menyelesaikan wajib belajar 9 tahun.
Jumlah anak SD dan SMP peserta PKH sampai dengan pemutakhiran data terakhir 2009 adalah 334 anak, yang terdiri dari 210 anak yang bersekolah di SD dan 124 di SMP. Sedangkan jumlah fasilitas pendidikan yang ada adalah 34 sekolah yang terdiri dari 8 SMP (5 SMP Negeri dan 3 SMP Swasta), 2 MTS (1 MTS Negeri dan 1 MTS Swasta), 2 Kejar Paket B, 23 SDN dan 1 SDLB.
Hasilnya adalah sebagai berikut :
- Pada akhir tahun 2007 sampai awal tahun 2008 anak peserta PKH yang belum sekolah tetapi bersedia sekolah ( mereka belum terdaftar di SD/SMP dan belum tamat SD/SMP sederajat) adalah 14 anak.
- Setelah PKH berjalan sampai dengan tahun ajaran baru (bulan Juni) tahun 2008 yang bersedia sekolah dan mendaftarkan diri ke fasilitas pendidikan adalah 10 anak.
- Sampai dengan akhir tahun 2009 jumlah anak putus sekolah / tidak bersedia melanjutkan sekolah adalah 6 anak.
Dari 6 anak yang tidak bersedia melanjutkan sekolah / putus sekolah ( red : point c) diatas terdiri dari 3 anak yang berasal dari point b (red: 10 orang yang dimotivasi oleh pendamping) dan 3 anak dari luar point b.
Artinya, dari 14 anak yang belum sekolah di awal pelaksanaan PKH yang bersedia sekolah pada tahun ajaran baru 2008 adalah sejumlah 10 anak saja. Dari 10 anak tersebut pada tahun 2009 yang putus sekolah sejumlah 3 anak. Sedangkan sisanya 3 anak lainnya adalah anak yang dari tahun 2007 sudah bersedia sekolah.
Disini dapat diprosentasekan, bahwa dari 14 orang anak yang pendamping motivasi di awal program, yang bersedia dan mendaftar ke sekolah sebesar 71.43 % saja dan sisanya yang tidak bersedia sebesar 28.57%. Sedangkan dari 10 anak yang telah sekolah pada tahun 2008 yang putus sekolah sampai akhir tahun 2009 sebesar 30 % (3 anak).
Menarik untuk diungkap, bahwa fenomena anak putus sekolah ternyata tidak hanya terjadi pada anak-anak yang dari awalnya memang tidak bersedia sekolah. tapi disini juga ditemukan bahwa 3 anak juga putus sekolah padahal sejak awal PKH mereka sudah sekolah.
Adapun alasan putus sekolah juga bervariasi antara lain :
Artinya, dari 14 anak yang belum sekolah di awal pelaksanaan PKH yang bersedia sekolah pada tahun ajaran baru 2008 adalah sejumlah 10 anak saja. Dari 10 anak tersebut pada tahun 2009 yang putus sekolah sejumlah 3 anak. Sedangkan sisanya 3 anak lainnya adalah anak yang dari tahun 2007 sudah bersedia sekolah.
Disini dapat diprosentasekan, bahwa dari 14 orang anak yang pendamping motivasi di awal program, yang bersedia dan mendaftar ke sekolah sebesar 71.43 % saja dan sisanya yang tidak bersedia sebesar 28.57%. Sedangkan dari 10 anak yang telah sekolah pada tahun 2008 yang putus sekolah sampai akhir tahun 2009 sebesar 30 % (3 anak).
Menarik untuk diungkap, bahwa fenomena anak putus sekolah ternyata tidak hanya terjadi pada anak-anak yang dari awalnya memang tidak bersedia sekolah. tapi disini juga ditemukan bahwa 3 anak juga putus sekolah padahal sejak awal PKH mereka sudah sekolah.
Adapun alasan putus sekolah juga bervariasi antara lain :
- Jauh dari SLB dan tidak mampu mengikuti pelajaran di SD (1 anak).
- Lebih suka bekerja daripada sekolah (2 anak).
- Tidak naik kelas sehingga malu untuk melanjutkan sekolah (1 anak).
- Faktor psikologis (2 anak).
Faktor psikologis disini adalah semacam perasaan sangat tertekan pada saat mengerjakan tugas dari guru di sekolah atau saat menghadapi ujian, hal ini membuat anak merasa pusing dan akhirnya merasa tidak mampu untuk melanjutkan sekolah.
Sampai saat ini peran dari Pendamping dan Guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah ternyata tidak mampu memotivasi mereka untuk dapat kembali bersekolah, walaupun sudah dilakukan pendekatan dan kunjungan rumah.
Perlu dicari penyebab yang sebenarnya dari alasan anak-anak tersebut putus sekolah, misalnya dengan penanganan psikolog atau psikiater untuk membantu mereka. Namun yang menjadi kendala utama adalah mereka adalah anak RTSM yang pasti tidak akan mampu untuk membayar biaya konsultasi dengan psikolog atau psikiater.
Ibarat suatu penyakit apabila tidak diobati dengan obat yang sesuai akan berakibat penyakit tidak akan sembuh atau malah akan lebih parah. Mencari obat yang tepat untuk suatu penyakit diperlukan untuk menyembuhkan penyakit tersebut.
Anak-anak itu adalah generasi penerus bangsa yang sangat berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak demi masa depan mereka sendiri dan masa depan bangsa ini. Karena sejatinya ini adalah masalah kita bersama dan mari secara bersama-sama pula kita pikirkan mencari solusi yang terbaik..
Untuk itu, adakah di Kabupaten Madiun ini Lembaga Pendidikan, Lembaga Sosial, LSM, atau mungkin dari Dinas Pendidikan yang bersedia membantu anak-anak ini untuk mencari akar permasalahan mereka ???
Oleh : Agustin Hariyani,
Pendamping UPPKH Kecamatan Mejayan
Kabupaten Madiun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar